Cerita Sex Terbaru Ibu RT Berhubungan Dengan Tukang Kebun Full Servis
Narasi Seks Asli 2018 Umur tak lagi jadi penghambat untuk orang yang ingin nikmati kepuasan sex, dan kepuasan sex dapat diperoleh baik sama rekan, tetangga atau Ibu RT nach narasi tante riang ini kali ialah mengenai sex dengan Bu Rt yang seksi, sebagai ibu Rt yang menemani Pak rt, walaupun usia cukup masak, performa harus terus sedap disaksikan. Umur Bu hartono sebetulnya tidak muda kembali dapat disebutkan ibu 1/2 baya. Mungkin mendekati 50 tahun. Karena suaminya, Pak hartono yang memegang Ketua RT di kampungku, sesaat lagi masuk saat pensiun.
Cersex Dewasa – Saya ketahui itu karena hubunganku dengan keluarga Pak hartono lumayan dekat. Mahfum sebagai tenaga muda saya kerap disuruh Pak hartono untuk menolong beragam masalah yang terkait dengan aktivitas RT.
Tetapi berlainan dengan suaminya yang kerap sakit-sakitan, figur istrinya wanita beranak yang sekarang tinggal di luar Jawa meng ikuti pekerjaan si suami itu, jauh berkebalikan. Walau umurnya nyaris masuk kepala lima, Bu Har (demikian umumnya saya dan masyarakat lain panggil) sebagai wanita belum kehilangan daya magnetnya. Memang sejumlah keriput mulai terlihat di mukanya. Tapi buah dadanya, pinggul dan bokongnya, benar-benar tetap mengundang daya tarik.
Saya bisa menjelaskan ini karena terakhir terturut perselingkuhan panjang sama wanita berperawakan tinggi besar itu. Ceritanya bermula saat Pak hartono tiba-tiba terserang sakit lumayan serius. Dia masuk ke rumah sakit pada kondisi koma serta beberapa hari harus ada di ruangan ICU (Intensive Peduli Unit) sebuah RS pemerintahan di kotaku. Karena dia tidak mempunyai bagian keluarga lainnya sementara putri salah satu ada di luar Jawa, saya disuruh Bu Har untuk menolong temaninya sepanjang suaminya ada di RS jalani perawatan.
Dan saya tidak dapat menampik karena tetap tidak bekerja setamat SMA satu tahun kemarin. “Kami bapak-bapak di lingkungan RT memita Mas Rido ingin menolong seutuhnya keluarga Pak hartono yang terkena bencana. Terutama untuk menolong dan temani Bu Har saat di rumah sakit. Ingin kan Mas Rido,?” Demikian kata sejumlah anggota arisan bapak-bapak kepadaku saat melihat ke rumah sakit. Bahkan juga Pak Nandang, seorang masyarakat yang dikenali pemurah hati secara sembunyi-sembunyi menyisipkan uang Rp 100 ribu di kantong celanaku yang ucapnya untuk beli rokok supaya tidak merepotkan Bu Har. Dan saya tidak dapat menampik karena Bu Har sendiri sudah mintaku untuk temaninya. Beberapa hari pertama menemani Bu Har menjaga suaminya di RS saya dibikin repot. Harus mondar-mandir membayar obat atau beli beragam kepentingan yang lain diperlukan. bahkan juga kusaksikan wanita itu tidak sebelumnya sempat mandi dan benar-benar kecapekan. Karena mungkin tegang suaminya tidak juga siuman dari keadaan komanya.
Menurut dokter yang mengecek, keadaan Pak hartono yang lebih buruk diperhitungkan karena penyakit radang lambung kronis yang dialami. Karena itu karena kompleksitas dengan penyakit diabetis yang dideritanya lumayan lama, ketahanan badannya jadi menurun. Mengetahui penyakit yang dialami itu, yang kata dokter proses pengobatannya bisa memerlukan waktu lumayan lama, berulang-kali saya minta Bu Har untuk bersabar. “Biarlah bu, ibu pulang dahulu untuk mandi atau istirahat. Telah 2 hari saya saksikan ibu tidak sebelumnya sempat mandi. Agar saya yang di sini menunggu Pak Har,” kataku menentramkan. Saranku ternyata mengena dan diterima. Karena itu siang itu, saat serombongan temannya dari tempatnya mengajarkan dalam suatu SLTP menjenguk (oh iya Bu Har profesinya sebagai guru sedang Pak Har pegawai sebuah lembaga pemerintah), dia minta beberapa pembesuk untuk menunggu suaminya. “Saya ingin pulang dahulu sesaat untuk mandi diantarkan Nak Rido. Telah 2 hari saya tidak sebelumnya sempat mandi,” ucapnya ke beberapa rekannya.
Dengan sepeda motor punya Pak Har yang menyengaja dibawa untuk mempermudah saya ke mana saja saat disuruh tolong oleh keluarga itu, saya pulang memboncengkan Bu Har. Tapi di perjalanan dadaku sebelumnya sempat berhembus. Karena pengereman tiba-tiba motor yang kukendarai karena hampir menubruk becak, badan wanita yang kubonceng tertolak di depan. Mengakibatkan dari sisi pahaku tercengkeram tangan Bu Har yang terkejut karena peristiwa tidak tersangka itu, punggungku berasa tertumbuk benda empuk. Tertumbuk buah dadanya yang kuyakini ukuran lumayan besar. Ah, pikiran nakalku menjadi mulai liar. Sekalian fokus dengan sepeda motor yang kukendarai, pikiranku mengelana dan mengkira-kira memikirkan berapa besar buah dada punya wanita yang memboncengku. Pikiran kotor yang seharusnya jangan muncul ingat suaminya ialah seseorang yang kuhormati sebagai Ketua RT di kampungku. Pikiran aneh itu ada, karena mungkin saya memang tidak perjaka kembali.
Saya sebelumnya pernah berhubungan seksual dengan seorang WTS walau cuman satu kali. Hal tersebut dilaksanakan sejumlah rekan SMA saat selesai informasi hasil Ebtanas. Sesudah mengantarkan Bu Har ke tempat tinggalnya yang memiliki jarak sekitaran 100 mtr. dari rumahku, saya pamit pulang ambil sarung dan pakaian untuk tukar “Jangan semakin lama nak Rido, ibu hanya sesaat kok mandinya. Lagian kasihan beberapa teman ibu yang menanti di dalam rumah sakit,” ucapnya. Dan seperti yang dimintanya, saya selekasnya kembali lagi ke rumah Pak Har sesudah ambil sarung dan pakaian. Masuk langsung ke ruangan di rumah Pak Har. Rupanya, di atas meja makan sudah ada satu gelas kopi panas dan sejumlah potong kue dalam piring kecil. Dan ketahui saya yang tiba, kedengar suara Bu Har menyuruhku untuk nikmati sajian yang disiapkan. “Maaf Nak Rido, ibu masih mandi. Sesaat lagi usai,” suaranya kedengar dari kamar mandi pada bagian belakang.
Tidak kelamaan menanti, Dia keluar kamar mandi dan secara langsung ke arah kamarnya melalui di dekat kamar makan tempatku meminum kopi dan makan kue. Waktu itu dia cuma melilitkan handuk yang memiliki ukuran tidak besar untuk tutupi badannya yang basah. Tidak batal, walau sekilas, saya sebelumnya sempat disajikan panorama yang menggentarkan. Bagaimana tidak, karena handuk mandinya tidak lumayan besar dan lebar, karena itu tidaklah cukup prima agar bisa tutupi tertelanjangan badannya. Ah,.. betul seperti sangkaanku, buah dada Bu Har memang memiliki ukuran besar. Bahkan juga kelihatan hampir melawan keluar handuk yang melilitnya.
Bu Har kelihatannya mengikat sekerasnya lilitan handuk yang dikenaiannya pas pada bagian dadanya. Sementara pada bagian bawah, karena handuk cuma sanggup tutup sama persis di bawah pangkal paha, kaki panjang wanita itu sampai ke pangkalnya sebelumnya sempat menarik lihat mataku. Bahkan juga saat dia akan masuk ke dalam kamarnya, dari sisi belakang kelihatan melihat buah bokongnya. Bokong besar itu bergoyang-goyang dan benar-benar mengundang saat dia mengambil langkah. Dan ah,.. yang tidak kalah syur, dia tidak kenakan celana dalam. Berbicara ukuran buah dadanya, mungkin untuk membuntelnya dibutuhkan Bra ukuran 38 atau lebih. Sebagai wanita yang sudah berusia, pinggangnya memanglah tidak seramping gadis remaja. Tapi pinggulnya yang jadi membesar sampai ke bokongnya kelihatan membuat lekukan menarik dan enak dilihat.
Apalagi kaki belalang dengan paha putih mulus kepunyaannya itu, benar-benar tetap simpan magnit. Karena itu degup jantungku jadi semakin kuat terpicu menyaksikan beberapa bagian cantik punya Bu Har. Sayang hanya sepintas, demikian saya membatin. Tapi rupanya tidak. Peluang kembali terulang lagi. Belum lenyap debaran dadaku, dia kembali keluar kamar dan belum juga menukar handuknya dengan baju. Tanpa memedulikan saya yang sedang duduk terbengong, dia jalan dekati lemari di dekat tempatku duduk. Di situ dia ambil barang-barang yang dibutuhkan. Bahkan juga seringkali dia harus membungkukkan tubuh karena susahnya barang yang dicari (seperti dia menyengaja lakukan ini). Tidak batal, kembali saya disajikan tontonan yang tidak kalah menggentarkan. Dalam jarak yang lumayan dekat, saat dia membungkuk, kelihatan terang mulusnya sepasang paha Bu Har sampai ke pangkalnya. Paha yang prima, putih mulus dan terlihat tetap kuat.
Dan saat dia membungkuk lumayan lama, bokong besarnya menjadi target lihat mataku. Kemaluannya kelihatan sedikit melihat dari sela pangkal pahanya. Hatiku jadi tidak karuan dan tubuhku berasa panas dingin dibikinnya. Apa Bu Har memandang saya masih pemuda ingusan? Sampai dia tidak merasakan canggung kenakan pakaian seronok di hadapanku? Atau dia memandang dianya telah terlampau tua sampai menduga beberapa bagian badannya tak lagi mengundang nafsu seorang lelaki apalagi lelaki muda sepertiku? Atau justru dia menyengaja memperlihatkannya supaya nafsuku kepancing? Beberapa pertanyaan itu terasanya kacau dalam hatiku. Bahkan juga jadi berlanjut saat kami boncengan lagi ke arah rumah sakit. Dan yang jelas, semenjak waktu itu perhatianku ke Bu Har berbeda keseluruhan.
Saya jadi kerap mencuri-curi pandang agar bisa melihati beberapa bagian badannya yang kuanggap masih aduhai. Apalagi sesudah mandi dan ganti baju, kusaksikan dia kenakan celana dan kaos lengan panjang ketat yang seperti akan cetak badannya. Nafsuku menjadi semakin kebakar walau masih tetap kupendam dalam-dalam. Dan peralihan lainnya, saya kerap ajaknya terlibat perbincangan mengenai apa dari sisi selalu cepat kerjakan tiap dia memerlukan kontribusi. Sampai jalinan kami makin dekat dari hari ke hari. Sampai sesuatu malam, masuk hari ke-5 kami ada di rumah sakit, waktu itu hujan terus mengguyuri semenjak sore hari. Karena itu beberapa orang yang menunggu pasien yang dirawat di ruangan ICU, semenjak sore sudah mengkapling-kapling teras luar bangunan ICU. Mahfum, pada malam hari penunggu jangan masuk sisi di di dalam ruangan ICU. Dan pasien umumnya manfaatkan teras yang terdapat untuk berbaring atau duduk mengobrol. Dan malam itu, karena siraman hujan, tempat untuk tidur menjadi menyempit karena pada bagian-bagian tempias oleh air hujan.
Sementara saya dan Bu Har yang baru cari kapling sesudah makan malam di kantin, jadi tidak kebagian tempat. Sesudah cari lumayan lama, pada akhirnya saya mengajukan usul untuk melangsungkan alas dan karpet di dekat bangunan kamar mayat. Saya mengajukan usul itu karena jaraknya masih lumayan dekat sama ruangan ICU dan itu salah satu lokasi yang memungkinkannya untuk berlindung walau cukup gelap karena tidak ada pencahayaan di situ. Awalannya Bu Har menampik, karena tempatnya di dekat kamar mayat. Tetapi pada akhirnya dia berserah sesudah ketahui tidak tersedia tempat lainnya dan saya mengatakan siap berjaga-jaga semalaman.
“Janji ya Rid (sesudah cukup dekat Bu Har tidak mengembel-embeli panggilan Nak di muka nama lainku), kamu harus bangunkan ibu jika ingin kencing atau membeli rokok. Masalahnya ibu takut ditinggalkan sendiri,” ucapnya. “Wah, stok rokokku lebih dari cukup kok bu . Maka tidak butuh ke mana saja ,” jawabku. Nyaman rupanya tempati kapling dekat kamar mayat. Dapat terlepas dari hilir mudik orang sampai dapat istirahat cukup tenang. Dan walau gelap tanpa pencahayaan, dapat terlepas dari air cipratan hujan karena tempat kami melangsungkan alas dan karpet terlindungi oleh tembok dengan tinggi sekitaran 1/2 mtr.. Sekalian berbaring cukup mendekat karena sempitnya ruangan yang terdapat, Bu Har ajakku bercakap mengenai beberapa hal. Dari masalah kangennya pada Dewi, anaknya yang cuma dapat pulang satu tahun sekali saat lebaran sampai ke masalah penyakit yang dialami Pak hartono.
Menurut Bu Har penyakit diabetis itu dialami suaminya semenjak delapan tahun kemarin. Dan karena penyakit tersebut penyakit radang lambung yang tiba terakhir jadi susah sembuh. “Ucapnya penyakit diabetes dapat jadikan lelaki menjadi impotensi ya Bu?” “Kata siapa, Rid?” “Eh,.. anu, kata artikel dalam suatu koran,” jawabku cukup tergagap. Saya merasakan tidak sedap memberi komentar semacam itu pada penyakit yang dialami suami Bu Har. “Ternyata kamu suka membaca ya. Betul kok itu, karena itu penyakit kencing manis dari sisi menganiaya suami yang mengidapnya punya pengaruh pada istrinya.
Untung ibu telah tua,” katanya lirih. Merasakan tidak sedap topik pembicaraan itu bisa menghidupkan duka cita Bu Har, pada akhirnya saya pilih diam. Dan saya yang semula berbaring dalam posisi terlentang, sesudah rokok yang kuhisap kubuang, mengganti sikap tidur memunggungi wanita tersebut. Karena walau benar-benar suka bersinggungan badan sama wanita itu, saya tidak ingin dipandang kurang ajar. Karena saya tidak paham dengan cara tepat jalan pikiran Bu Har yang sebetulnya. Tapi barusan saya mengganti sikap tidur, tangan Bu Har berasa mencolek pinggangku. “Tidurmu jangan memunggungi demikian. Menghadap kesini, ibu takut,” ucapnya lirih. Saya kembali lagi ke tempat awal, tidur terlentang. Tetapi karena sikap tidur Bu Har terlalu mendekat, karena itu waktu kembali posisi tanpa menyengaja lenganku menyenggol buah dada wanita tersebut.
Memanglah belum sentuh langsung karena dia kenakan daster dan selimut yang tutupi badannya. Apesnya, Bu Har bukanlah menjauh atau renggangkan badan, tapi justru makin rapatkan badannya ke badanku. Seperti anak kecil yang ketakutan waktu tidur dan cari rasa aman pada ibunya. Pada akhirnya, dengan keberanian yang kupaksakan – karena ku percaya waktu itu Bu Har belum nyenyak tertidur – saya mulai coba-coba. Sama seperti yang dimauinya, saya mengganti lagi sikap tidur miring melawannya. Jadilah beberapa badanku mendekat ketat ke badannya sampai berasa kehangatan mulai menjalari badanku. Sampai di sana saya melakukan perbuatan seakan-akan sudah mulai pulas tertidur sekalian menanti reaksinya.
Reaksinya, Bu Har terbangkit dan menarik selimut yang dikenainya. Selimut besar dan tebal itu diambilnya untuk dibentangkan sekalian tutupi badanku. Jadilah badan kami semakin berdempetan di bawah satu selimut. Pada akhirnya, saat saya nekad meremas telapak tangannya dan dia membalasnya dengan remasan halus, saya menjadi mulai berani berlaga lebih jauh. Kumulai dengan menjalari pahanya di luar daster yang dikenainya telapak tanganku. Dia menggeliat, tapi tidak menampikkan tanganku yang mulai nakal tersebut. Justru posisi kakinya mulai diperenggang yang mempermudahku menarik ke atas sisi bawah dasternya.
Baru saat usapan tanganku mulai menelusuri secara langsung pada ke-2 pahanya, kuketahui dengan cara tepat dia tidak menyanggahnya. Tanganku justru dituntunnya untuk sentuh kemaluannya yang tetap tertutup celana dalam. Seperti kemauanku dan kemauannya, telapak tanganku mulai sentuh dan menyeka sisi membusung yang berada di selangkangan wanita tersebut. Dia mendesah lirih saat usapan tanganku lumayan lama main di sana. saat tanganku lainnya mulai meremasi buah dadanya dari sisi luar Bra dan dasternya. Hingga kemudian, saat tanganku yang bekerja pada bagian bawah sudah sukses menyelusup ke sisi samping celana dalam dan sukses mencolek-colek sela kemaluannya yang banyak rambut, ia suka-rela memereteli sendiri kancing sisi depan dasternya. Lantas seperti wanita yang akan menyusui bayinya, dikeluarkannya payudaranya dari Bra yang membuntelnya.
Seperti bayi yang sedang kelaparan mulutku selekasnya menggempur puting susu samping kiri punya Bu Har. Kujilat-jilat dan kukulum pentilnya yang dirasa muncul dan mengeras di mulutku. Bahkan juga karena gaungs, kadang-kadang kubenamkan mukaku ke ke-2 payudara wanita tersebut. Payudara memiliki ukuran besar dan cukup melembek tetapi tetap tersisa kehangatan. Sementara Dia sendiri, sekalian terus mendesis dan melenguh nikmat oleh semua pergerakan yang kulakukan, mulai asyik dengan bermainannya. Sesudah sukses menyelusup ke kembali celana pendek yang kukenakan, tangannya mulai meremas dan meremas penisku yang sudah mengeras. Kata teman-temanku, senjataku termasuk long size, sampai Dia terlihat keasyikkan dengan penemuannya tersebut.
Tapi saat saya akan menarik celana dalamnya, badannya berasa membentak dan ke-2 pahanya dirapatkan coba merintangi tujuanku. “Ingin apa Rid,.. jangan di sini ah kelak kedapatan orang,” ucapnya lirih. “Ah, tidak ada apa-apa gelap kok. Beberapa orang juga pada tidur dan tidak akan terdengaran karena hujannya semakin besar.” Hujan waktu itu memang makin deras.Entahlah karena memercayai perkataanku. Atau karena gairahnya yang telah mencapai puncak bisa dibuktikan dengan makin membanjirnya cairan di lubang kemaluannya, dia ingin saja saat celananya kutarik ke bawah. Bahkan juga dia menarik celana dalamnya saat saya kesusahan melakukan. Dia menolong buka dan menarik celana pendek dan celana dalam yang kukenakan. Pada akhirnya, dengan membuka daster yang dikenainya saya mulai menindih badannya yang berposisi mengangkang.
Karena dilaksanakan dalam gelap dan masih tetap dibalik selimut tebal yang kupakai bersama untuk tutupi badan, awalannya susah untuk arahkan penisku ke lubang kepuasannya. Tetapi karena tuntunan tangan halusnya, ujung penisku mulai temukan daerah yang sudah membasah. Slep.. penis besarku sukses menerobos secara gampang lubang sanggahmanya. Saya mulai menggoyang dan memaju-mundurkan senjataku dengan menaik-turunkan bokongku. Basah dan hangat berasa tiap penisku membenam di vaginanya. Sementara sekalian terus meremasi ke-2 buah dadanya dengan berganti-gantian, kadang-kadang bibirnya kulumat. Karena itu dia juga melenguh ketahan, melenguh dan mengeluh ketahan. Ah, sangkaanku memanglah tidak melenceng badannya memang tetap janjikan kehangatan. Kehangatan yang sempurna ciri khas dipunyai wanita eksper. Dihujam terus-menerus oleh kemelut penisku pada bagian kewanitannya, Dia mulai menyeimbangi aksiku.
Itil V3
Bokong besar besarnya mulai digerakkan putar meng ikuti pergerakan turun naik badanku pada bagian bawah. Putar dan terus putar dengan gerak dan goyang pinggul yang terukur. Hal tersebut jadikan penisku yang tenggelam dalam vaginanya terasanya diremas. Remasan nikmat yang mengorbitkan jauh anganku entahlah ke mana. Bahkan juga kadang-kadang otot-otot yang terdapat dalam vaginanya seakan menjepit dan melafalkanng. “Ah,.. ah.. sedap sekali. Terus, ah.. ah,” “Saya sedap Rid, uh.. uh.. uh. Telah lama sekali tidak merasa kan semacam ini. Apalagi punyamu keras dan penjang. Auh,.. ah.. ah,” Hingga kemudian, saya jadi tidak kuat oleh goyangan dan remasan vaginanya yang semakin membanjir. Gairahku semakin naik ke ubun-ubun dan seakan ingin meletus. Pergerakan sisi bawah badanku semakin kuat menonjol dan mengocak vaginanya dengan penisku. “Saya tidak kuat, ah.. ah.. Kelihatannya ingin keluar, shh, ah,.. ah,” “Saya Rid, terus goyang, ya.. ya,.. ah,” Sesudah mengelojot dan memuntahkan semua yang tidak bisa kubendungnya, saya pada akhirnya roboh di atas badan wanita tersebut. Maniku lumayan banyak menyemburkan dalam lubang kepuasannya. Begitu juga Dia, sesudah kontraksi otot-otot yang kuat, dia menumpahkan gestur pucuknya dengan dekap kuat badanku.
Serta kurasakan punggungku sebelumnya sempat tercakar oleh kuku-kukunya. Lumayan lama kami termenung sesudah pertempuran panjang yang meletihkan. “Seharusnya kita jangan lakukan itu ya Rid. Apalagi bapak kembali sakit dan tengah dirawat,” kata Dia sekalian masih berbaring di dekatku. Saya menduga dia menyesal dengan kejadian yang baru terjadi tersebut. “Ya Maaf,.. masalahnya barusan,..” “Tapi tidak ada apa-apa kok. Saya juga lama ingin nikmati yang semacam itu. Masalahnya semenjak lima tahun lebih Pak Har terserang diabetis, dia jadi jarang penuhi kewajibannya. Bahkan juga telah 2 tahun ini kelelakiannya tidak berperan kembali. Hanya, jika satu saat ingin melakukan kembali, kita harus berhati-hati. Janganlah sampai ada yang mengetahui dan memunculkan noda antara kita,” katanya lirih. Plong, begitu lega hatiku waktu itu. Dia tidak geram dan menyesal sama yang barusan terjadi. Dan yang membuatku suka, saya bisa melepaskan keinginan terkuburku padanya. Walau saya merasa belum senang karena semua dilaksanakan di kegelapan sampai kemauanku menyaksikan tertelanjangan badannya belum kesampaian.
Dan sama seperti yang dimintakannya, saya berusaha coba berlaku sewajar mungkin waktu ada di beberapa orang. Seakan sebelumnya tidak pernah terjadi suatu hal yang hebat antara kami. Walau saya kerap harus menekan kemauan yang menggelegak karena darah mudaku yang mudah panas waktu bersisihan dengannya. Dan semenjak itu lokasi teras ada di belakang kamar mayat jadi saksi sekitaran 3x jalinan menyumbang kami. Jalinan menyumbang yang mau tak mau kuhentikan bersamaan kehadiran Bu Hartini, adik Pak hartono yang berniat melihat keadaan sakit kakaknya. Cuma terang-terangan, semenjak hadirnya ada hati kurang suka pada diriku. Karena semenjak Dia ada yang temani menjaga suaminya di dalam rumah sakit, walau saya masih tetap disuruh untuk menolong mereka dan selalu ada di rumah sakit, saya tak lagi bisa salurkan hasrar seksualku. Cuma kadang-kadang kami sebelumnya pernah nekad salurkannya di dalam kamar mandi saat keinginan yang terdapat tidak bisa ditahan. Itu juga secara kucing-kucingan dengan Bu Tini dan segala hal dilakukan dengan terburu-buru sampai tidak memberikan kepuasan kami berdua.
Sampai sesuatu saat, saat Pak Har sudah siuman dan perawatannya sudah diarahkan ke bangsal perawatan yang terpisahkan, Bu Tini merekomendasikan ke Dia untuk tidur di dalam rumah. “Kamu telah berapa hari kekurangan tidur Mbak, keliatannya benar-benar kecapekan. Kamu coba jika malam tidur barang satu 2 hari di dalam rumah sampai beristirahat cukup dan tidak jatuh sakit. Kelak jika keduanya sakit justru menyusahkan. Agar yang tunggu Mas Har jika malam saya saja diteman Dik Rido jika ingin” katanya. Dia sepakat dengan anjuran adik iparnya. Dia memilih untuk tidur di dalam rumah malam tersebut. Karena itu hatiku bersorak karena tidak tertutup kemungkinan untuk menidurinya di dalam rumah. Tapi bagaimana triknya pamit pada Bu Tini? Jika saya ikutan pulang untuk tidur di dalam rumah apa tidak mengundang keraguan? Saya menjadi memutar otak untuk temukan jalan keluar. Dan baru merasa plong sesudah ada sekilas ide dalam benakku. Sekitaran jam 22.00 malam, melalui telephone umum kutelepon tempat tinggalnya. Wanita itu tetap terbangun dan berdasar pernyataannya tengah melihat tv. Karena itu nekad saja lusuhpaikan niatku padanya.
Dan rupanya dia memberikan sepatan kata lumayan baik. “Kamu kelak memberikan pertanda jika sudah berada di dekat kamar ibu ya. Kelak pintu belakang ibu bukakan. Dan sepeda motornya di tinggal saja di dalam rumah sakit agar tidak terdengaran tetangga. Kamu dapat naik becak untuk pulang,” ucapnya memberi pesan melalui telephone. Tidak untuk mengundang keraguan, sekitaran jam 23.00 saya masuk ke dalam bangsal tempat Pak Har dirawat temani Bu Tini. Tetapi 1/2 jam selanjutnya, saya pamit keluar untuk kongkow bersama beberapa Satpam rumah sakit seperti yang umum kulakukan sesudah kehadiran Bu Tini. Di muka rumah sakit saya segera minta seorang abang becak mengantarku ke kampungku yang memiliki jarak tidak lebih satu km.
Segala hal jalan sama sesuai gagasan. Sesudah kuketuk 3x pintu kamarnya, kudengar suara Dia berdehem. Dan dari pintu belakang rumah yang dibukakannya dengan perlahan-lahan saya segera menyelusup masuk ke arah ruangan tengah rumah itu. Ternyata, berjumpa pada tempat jelas membuat kami sama kikuk. Karena sejauh ini kami selalu terkait pada tempat gelap di teras kamar mayat. Karena itu saya cuma berdiri mematung, sedang Dia duduk sekalian menyaksikan tv yang tetap dihidupkannya. Lumayan lama kami tidak sama-sama berbicara hingga kemudian Dia tarik tanganku untuk duduk di atas sofa di sebelahnya. Sesudah keberanianku mulai bangun, saya mulai berani melihati wanita yang duduk di sampingku.
Dia rupanya sudah siap tempur. Bisa dibuktikan dari daster tipis menerawang yang dikenainya, kusaksikan dia tidak kenakan Bra di belakangnya. Karena itu kusaksikan terang payudaranya yang membusung. Cuma, saat tanganku mulai bergerilya menyelusuri pangkal paha dan meremasi buah dadanya dia menampik lembut. “Jangan di sini Rid, kita ke kamar saja agar bebas,” ucapnya lirih. Saat kami sudah sama naik ke atas tempat tidur besar di dalam kamar yang umum dipakai oleh suami dan ia, saya segera menangkapnya. Sebelumnya Dia mintaku mematikan dahulu sakelar lampu yang berada di kamar itu, tapi saya menampiknya. “Saya ingin menyaksikan semua punyamu,” kataku. “Tapi saya malu Rid. Masalahnya saya telah tua,.” Bedebah dengan umur, dimataku, Dia tetap simpan magnit yang sanggup menggelegakkan darah mudaku. Sebentar saya terdiam saat wanita itu sudah melolosi dasternya. 2 buah gunung kembarnya yang membusung terlihat sudah menggantung. Tapi tidak kehilangan daya tariknya. Buah dada yang putih mulus dan memiliki ukuran lumayan besar itu diujungnya kelihatan ke-2 pentilnya yang warna kecoklat-coklatan. Cantik dan benar-benar melawan untuk diremas.
Karena itu sesudah saya melolosi sendiri semua baju yang kukenakan, langsung kutubruk wanita yang sudah berbaring dalam posisi menelentang. Ke-2 payudaranya kujadikan target remasan ke-2 tanganku. Kukulum, kujilat dan kukenyot dengan berganti-gantian susu-susunya yang lebih besar melawan. Peluang menyaksikan dari jarak dekat keelokan buah dadanya membuat saya seakan kesetanan. Dan Dia, wanita berhidung bangir dengan rambut sepundak itu menggelepar. Tangannya meremas-remas rambut kepalaku coba meredam nikmat atas perlakuan yang sedang kulakukan. Dari ke-2 gunung kembarnya, sesudah sejumlah waktu main di sana, secara terus menjulurkan lidah dan menjilat semua badannya kuturunkan perhatianku ke sisi perut dan di bawah pusarnya. Sampai saat lidahku terhambat oleh celana dalam yang tetap dikenainya, saya segera memelorotkannya.
Ah, vaginanya tidak kalah cantik dengan buah dadanya. Kemaluan yang lebih besar membusung dan banyak rambut hitam lebat itu, saat kakinya dikuakkan terlihat sisi dalamnya yang memeras. Bibir vaginanya memang terlihat kecoklat-coklatan yang sekalian mengisyaratkan jika awalnya sudah kerap diterobos kemaluan suaminya. Tapi bibir kemaluan itu belum demikian menggelambir. Dan kelentitnya, yang berada di ujung atas, uh,.. muncul melawan sebesar biji jagung. Tidak kuat hanya memelototi lubang kepuasan wanita itu, mulai mulutku yang berbicara. Awalannya coba membaui dengan hidungku. Ah, ada berbau yang meruap asing di hidungku. Fresh dan membuatku tambah terangsang.
Dan saat lidahku mulai kumainkan dengan menjilat-jilat perlahan di sekitar bibir vaginanya besar itu, Dia terlihat resah dan menggoyang-goyang kegelian. “Ih,.. jangan diciumi dan dijilat demikian Rid. Malu ah, tetapi, ah..ah.. ah,” Tapi dia justru menggoyahkan sisi bawah badannya saat mulutku mencerucupi lubang enaknya. Goyangannya semakin kuat dan terus mengencang. Hingga kemudian diremasnya kepalaku ditekannya kuat-kuat ke sisi tengah selangkannya saat kelentitnya kujilat dan kugigit kecil. Ternyata dia sudah memperoleh orgasme sampai badannya berasa melafalkanng dan pinggulnya membentak ke atas. “Sepanjang umur baru ini kali vaginaku dijilat-jilat demikian Rid, jadi cepat kalah. Saat ini giliran dech Saya mainkan punyamu,” katanya sesudah sesaat atur napasnya yang mengincar. Saya disuruhnya terlentang, sedang kepala ia ada di sisi bawah badanku. Sebentar, mulai kurasakan kepala penisku dijilat lidah basah punya wanita tersebut. Bahkan juga dia mencerucupi sedikit air maniku yang sudah keluar karena gairah yang kubendung.
Berasa ada senasi tertentu oleh permainan lidahnya itu dan saya menggeliat oleh permainan wanita tersebut. Tetapi sebagai anak muda, saya merasa kurang senang dengan berlaku pasif. Ditambah saya ingin meremas bokong besarnya yang montok dan seksi. Sampai saya menarik badan sisi bawahnya untuk ditaruh di atas kepalaku. Skema persetubuhan yang kata orang dikatakan sebagai permainan 69. Kembali vaginanya yang ada pas di atas mukaku langsung jadi target gerilya mulutku. Sementara bokong besarnya kuremas-remas dengan gaungs. Bukan hanya itu jilatan lidahku tidak stop cuma main di sekitar kemaluannya.
Tapi langsung ke atas dan sampai ke lubang duburnya. Ternyata dia sudah membersihkan dengan sabun baik di kemaluannya atau di anusnya. Jadi tidak sedikit juga meruap berbau kotoran di situ dan membuatku semakin bergairah untuk menjilat dan mencoloknya dengan ujung lidahku. Perlakuan nekadku ternyata membuat gairahnya kembali naik ke ubun-ubun. Karena itu sesudah dia memaksakanku hentikan permainan 69, dia segera mengganti posisi dengan terlentang mengangkang. Dan saya tahu tentu wanita itu sudah meminta untuk ditiduri. Dia mulai mengeluh saat tangkai besar dan panjang punyaku mulai menerobos gua kepuasannya yang basah. Karena hanya kami sama sudah mencapai puncak gairah syahwatnya, tidak lebih dari 10 menit sama-sama pacu dan menggoyang dilaksanakan, kami sudah sama tergeletak. Roboh di atas kasur empuk tempat tidur kepuasannya. Tempat tidur yang seharusnya pemali untuk kutiduri bersama wanita tersebut.
Malam itu, saya dan ia lakukan persetubuhan lebih dari 3x. Termasuk di dalam kamar mandi yang sudah dilakukan sekalian berdiri. Dan saat saya meminta lagi yang ke-4 kali, dia menampiknya lembut. “Badan ibu cape sekali Rid, mungkin telah terlampau tua sampai tidak bisa menyeimbangi orang muda sepertimu. Dan ini mulai pagi, kamu harus kembali lagi ke rumah sakit supaya Bu Tini tidak berprasangka buruk,” ucapnya. Saya sebelumnya sempat mencium dan meremas bokongnya saat Dia akan tutup pintu belakang rumah mengantarku keluar. Ah,.. cantik dan nikmat rasanya. Umur Pak Har rupanya tidaklah cukup panjang. Sepanjang satu bulan lebih dirawat di dalam rumah sakit, dia pada akhirnya wafat sesudah sempat dibawa RS lebih besar di Semarang.
Di Semarang, aku juga turut menunggu dengannya dan Bu Tini sepanjang satu minggu. Ada juga Mbak Dewi dan suaminya yang meluangkan diri untuk melihat. Sampai hubunganku dengan keluarga itu jadi semakin dekat. Tetapi, jalinan sumbangku dengannya jadi berlanjut sampai sekarang. Bahkan juga kami sebelumnya pernah nekad bersetubuh ada di belakang rumah keluarga itu, karena kami sama horny sementara di ruangan tengah banyak sanak kerabat dari keluarganya yang bermalam. Entahlah kapan saya akan menghentikannya, mungkin sesudah nafsunya sudah betul-betul padam. Demikian narasi tante ini kali komune Tante riang akan up-date mengenai beberapa cerita sex lebih hangat dan pasti melipur anda. Selamat nikmati.