Cerita Sex Berhubungan Dengan Dokter Muda Dan Mesum

Narasi Seks Asli Terkini 2018 Shinta ialah seorang dokter muda. Ia barusan menamatkan pendidikannya pada suatu kampus terkenal di Sumatera. Selainnya kepandaiannya yang mengantar dianya raih gelar dokter. Shinta adalah deskripsi profile angkatan muda saat ini. Selain sebagai gadis yang elok, Shinta yang berumur 24 tahun ini gesit dan cendekia dan dikenali oleh beberapa temannya sebagai gadis yang cinta lingkungan dan permasalahan sosial budaya. Ia benar-benar suka dengan penjelajahan alam.

Sepanjang 2 tahun akhir di kampusnya Shinta dipercayai beberapa temannya jadi Ketua Grup Pencinta Alam. Benar-benar kontras memang. Disaksikan dari performanya yang begitu elok dan halus Shinta ialah pakar bela diri Kung Fu pemilik sabuk hitam. Selain itu ia sebagai pemanjat tebing yang andal dan seringkali sudah meng ikuti aktivitas arung jeram dengan mencari sungai-sungai garang di sekitar Sumatera.

Cersex DewasaSeperti dokter baru dia harus jalani saat PTT dalam suatu dusun yang jauh dari rumahnya. Reaksi orang tuanya dalam masalah ini ibunya dan Rudi tunangannya ialah benar-benar berkeberatan saat dengar jika ia harus bekerja di dusun terasing tersebut. Ibunya benar-benar mengasihi Shinta. Beliaulah yang tetap menggerakkan sekolah Shinta sampai lulus jadi dokter. Orangtua Shinta pisah saat Shinta tetap kecil. Sampai tamat dokter Shinta meng ikuti ibunya. Shinta tidak pernah mengenal dan tahu bagaimana dan di mana ayahnya sekarang ini.

Selainnya jauh dari kotanya wilayah itu masih terisolir. Pikirkan, untuk capai wilayah itu orang harus sepanjang hari naik bis antara kota, selanjutnya dihubung ojek sampai ke pinggiran dusun yang diartikan. Di dusunnya sendiri yang masih sama sekali tidak ada fasilitas transportasi belum dapat dijangkau oleh pencahayaan listrik. Tidak ada TV dan tidak ada ikatan pesawat telepon atau antene repeater untuk pemakaian smartphone.

Ibunya meminta pamannya yang adik kandungan ibunya dengan Rudi tunangannya untuk meluangkan diri mengevaluasi secara langsung dusun tersebut. Setelah dari dusun itu mereka mengatakan jika begitu berat medan yang hendak ditemui oleh Shinta nanti. Mereka cemas dan kuatir pada Shinta yang direncanakan di bulan Haji kelak akan dinikahkan Rudi. Shinta dan Rudi sudah melakukan pertunangan sepanjang nyaris dua tahun. Rudi sendiri ialah seorang insinyur pertanian yang sudah bekerja di Dinas Pertanian Kabupaten. Tapi semua kekhawatiran dan kekuatiran orangtua dan tunangannya itu tidak terlalu disikapi oleh Shinta. Agar semakin meresapi narasi seterusnya, biarkanlah Shinta sendiri yang menceriterakan cerita yang dirasakannya seperti yang tercantum berikut ini,

Saya sendiri malah benar-benar ditantang oleh keadaan dusun tersebut. Idealisku ada dan menggerakkan saya untuk maju terus saat kupelajari kondisi geografi, sosial demografi dan sosial ekonomi dan budaya lokal warga dusun tersebut. Saya berketatapan hati tidak akan undur oleh rintangan yang benar-benar romantik tersebut. Saya ingin dapat membagikan pengetahuan dan pengetahuanku dan keterampilan dan pengalamanku untuk warga di dusun tersebut. Saya ingin dapat membaktikan diriku dari mereka yang serba kekurangan dan penuh keterbatasan tersebut. Dan pada akhirannya karena sikapku yang ceria dan tabah karena itu baik ibu atau tunanganku memberikan dukungan PTT-ku di dusun terasing tersebut.

Sesudah lewat satu hari perjalanan yang meletihkan dengan diantarkan oleh paman dan Mas Rudi saya sampai di dusun penuh rintangan tersebut. Kami di menyambut oleh piranti dusun itu dan kepala desa. Seorang tetua yang kepala desa yang namanya Pak Tanba secara spontan pinjamkan salah satunya ruang di tempat tinggalnya untuk kubuat poliklinik simpel.
Setelah dua hari membuat penyiapan tempat praktik dokter dan acara pengesahan ala-ala kandungannya saya diterima sah oleh warga sebagai dokter di dusun tersebut. Saya akan memberi servis kesehatan ke desa-desa disekitaran desaku. Dengan beberapa pesan dan beragam pesan, paman bersama Rudi pulang kembali lagi ke kota dengan tinggalkan saya yang sudah siap untuk mengawali pekerjaanku. Sebentar saat sebelum bergerak saya melihati Rudi. Dari matanya saya membaca kangen yang hinggap. Ia akan kangen kapan akan balik sama-sama membelai. OK, Rud. Ini khan cuma untuk saat enam bulan. Dan kita akan menikah selanjutnya, kan? !

Pada hari awal saya dibawa keliling dusun oleh Pak Pertanda bersama aparatur dusun untuk diperkenalkan ke warga dusun tersebut. Pada beberapa hari seterusnya saya menanti warga yang membutuhkan kontribusiku di poliklinik. Jika dibutuhkan saya akan bertandang ke pasien yang tidak sanggup berkunjung tempat praktekku. Beberapa hari pertama bekerja saya ditolong oleh kader kesehatan yang sudah saya berikan training simpel. Di saat yang dibutuhkan Pak Tanba siap menolong untuk mengantarkan saya layani panggilan dari warga.

Beberapa orang dusun itu sudah mafhum akan kelebihan Pak Tanba. Ia benar-benar dekat dan disukai warga disekelilingnya. Ia adalah orang yang terkaya untuk ukuran dusun itu tetapi benar-benar tidak memperlihatkan kesombongan. Dengan upayanya sebagai pengumpul hasil bumi Pak Tanba dapat mempunyai sejumlah rumah di dusun itu dan sejumlah kembali di dusun sekelilingnya.
Lebih luar biasa , Pak Tanba yang umurnya telah lebih 65 tahun itu sanggup mempunyai tiga orang istri. Maknanya selain sanggup dalam makna material, Pak Tanba mempunyai kekuatan lahiriah yang baik sekali. Badannya masih terlihat sehat dan tabah dan selalu siap lakukan kewajibannya untuk memberi nafkah lahir batin ke beberapa istrinya. Mukanya yang keras tapi penuh wibawa memberi kesan-kesan ‘melindungi’ pada siapa saja yang dekat dengannya. Dan memang demikian, Pak Tanba orang yang enteng tangan dan kaki untuk memberi bantuan pertolongan pada seseorang, pada warga dusunnya atau siapa saja.

Istri-istri Pak Tanba bisa disebut bukan wanita asal-asalan. Istri pertama kalinya Rhayah, umurnya sudah 57 tahun. Dia ‘permaisuri’ sebenarnya dari Pak Tanba. Dari Rhayah lahir 3 anaknya yang sudah dewasa dan berumah-tangga. Pada Rhayah, Pak Tanba memperlihatkan bagaimana dianya sebagai suami yang selalu memberi nafkah lahir bathin tanpa sebelumnya pernah tentukan kasih pada lebih muda ataupun lebih elok.
Istri ke 2-nya ialah Siti Nurimah. Seorang janda dari dusun yang lumayan jauh dari dusunnya. Siti Nurimah ialah wanita yang mempunyai toko klontong di dusunnya. Dari Nurimah Pak Tanba mempunyai dua orang anak yang tetap bersekolah. Nurimah benar-benar murah hatinya. Ia tidak pernah memberikan iri atau cemburu pada istri Pak Tanba lainnya.

Selanjutnya istrinya yang paling akhir masih muda. Umurnya 19 tahun. Ia masih perawan saat dikawini Pak Tanba. Karena jasa Pak Tanba pada keluarganya, Halimah begitu namanya yang bersifat lembut dan elok itu ikhlas jadi istri ke 3 Pak Tanba. Sikapnya selalu hormat pada Pak Tanba dan beberapa istrinya yang sebelumnya. Setiap hari Halimah ialah guru SD di dusunnya. Sekarang ini Halimah sedang memiliki kandungan sembilan bulan. Diprediksi ia akan melahirkan dalam kurun waktu dekat.
Saya kerap berpikiran jika koq ada orang jenis Pak Tanba. Pendidikannya yang lebih rendah, ia cuma tamatan SD, tidak membuat jadi orang kecil. Saya memandang Pak Tanba ialah ‘orang besar’ dalam makna sebenarnya. Ia orang yang selalu pegang loyalitas, kelihatan pada bagaimana hubungan dengan beberapa istrinya. Ia seseorang yang karyawan keras dan suka lakukan aktivitas sosial untuk kebahagiaan banyak orang. Tidak pernah saya dengar keluh kesahnya sepanjang ia menolong beberapa tugasku. Ia selalu memperlihatkan kebahagiaannya.

Dan yang saya kagumi, ia jarang-jarang capek atau sakit. Ia terlihat selalu sehat. Badannya sendiri yang terlihat cukup gempal keadaannya benar-benar fresh tanpa penyakit. Dengan rambutnya yang hitam dan tebal, giginya yang masih tetap utuh di tempatnya dan tatapan matanya yang begitu dinamis, sekilas orang yang menyaksikannya akan berkesan usia Pak Tanba paling sekitaran 50 tahunan. Ataupun lebih muda 15 tahun dari usia yang sebetulnya. Dan satu perihal yang mungkin membuat gampang memperoleh istri, gantengg dan stylenya yang simpatik. Tidak ganteng tapi sedap dilihatnya.
Pada aktivitasnya sebagai pengumpul hasil bumi Pak Tanba banyak berkeliling-keliling ke desa-desa disekelilingnya memakai sepeda motor. Ketika tidak ada aktivitas dengan suka hati Pak Tanba pinjamkan motornya kepadaku untuk kepentingan mendatangai pasienku yang tinggal jauh dari dusun. Bahkan juga jika kondisinya benar-benar darurat Pak Tanba turun tangan sendiri menolong saya dengan memboncengkan ke arah rumah pasienku.

Servis kesehatan di tengah warga dusun yang terasing ini bisa disebut tidak mengenali waktu. Seringkali saya harus terima panggilan dari pasienku jauh di tengah-tengah malam. Dan sudah pasti cukup dengan kontribusi Pak Tanba saya dapat penuhi panggilan dan kewajibanku tersebut.
Tidak berasa aktivitasku yang tetap merayap sudah masuk bulan ke 4. Saya sudah mengenali dan dikenali beberapa orang di desaku atau desa-desa disekelilingnya. Sepanjang itu juga Pak Tanba sudah memperlihatkan begitu ia sudah menolong saya dengan tidak main-main untuk kesehatan dan kesejahteraan warga di dusunnya. Saya betul-betul tertarik dengan ‘goodwill’-nya Pak Tanba ini. Bahkan juga saya merasa sering terharu pada saat saat mengantarkan saya kerap memperoleh beragam kesusahan. Kadangkala ban motornya yang meledak, atau mesin yang mogok hingga seringkali ia perlu membimbing motornya secara jalan kaki dalam jarak yang lumayan jauh.

Baca Juga:  Cerita Sedarah Jilbab Gelora Nafsu Kakakku Yang Berhijab

Dalam peluang lainnya kami kerap terjerat dalam jalanan yang licin sisa hujan. Dengan terseok ia perlu menggerakkan motornya melalui lumpur dan seringkali tergelincir jatuh sampai bajunya belepotan lumpur. Saya sendiri tidak dapat banyak berbuat pada keadaan jenis tersebut. Yang kumiliki hanya rasa kasihan yang mustahil share kepadanya.
Di lain faksi kami berdua kerap menrasakan sesuatu kepuasan batin. Pada saat usaha membantu orang sakit atau kadang-kadang ibu-ibu yang melahirkan dan semua usai dengan selamat dan sukses kami benar-benar merasa benar-benar berbahagia. Kadangkala kebahagiaan itu kami ungkap dengan spontan. Kami sama-sama berangkulan karena hati berbahagia atas sukses yang banyak sekali menuntut pengorbanan.

Dari beragam jenis hal yang penuh sukai duka jenis itu hubunganku dengan Pak Tanba jadi makin emosional. Kami bukan semata-mata terkait dengan pekerjaan atau kewajiban semata-mata. Tapi kami makin rasakan apa yang membuat Pak Tanba suka atau sulit aku juga turut rasakan suka atau sulitnya. Demikian juga kebalikannya.

Kadangkala tebersit dalam pikiranku, betapa berbahagianya istri-istrinya mempunyai suami jenis Pak Tanba yang ‘concern’ pada perannya sebagai suami atau sebagai manusia yang disebut sisi dari manusia yang lain. Benar-benar sangat jarang seorang suami jenis Pak Tanba.
Saya sendiri rasakan begitu ‘adem’ saat Pak Tanba datang di dekatku. Hati yang tidak pernah kudapatkan sebelumnya. Seolah didekatku ada perlindungan. Ada yang memerhatikan dan menolong saat saya memperoleh permasalahan. Apa ada demikian yang diberi seorang ‘ayah’ pada putrinya? Apa ada saya rindukan ‘ayah’ yang sampai sekarang saya tidak pernah mengenali dan tahu di mana kehadirannya? Hati ‘menyayangi’ secara ikhlas, saya mengasihi Pak Tanba dan Pak Tanba menyanyangi saya adalah bentuk riil yang menemani tiap kebersama-samaanku sama dia.
Dan anehnya, ini saya mengakui, saya risau jika tidak ada Pak Tanba. Saya resah jika tidak bertemu dengannya. Contohnya saya hilang fokus kerja saat ia sedang menggilir istrinya barang 1 atau dua hari. Saya kerap merenungi mengapa hatiku saya menjadi benar-benar bergantung pada Pak Tanba. Dan hati risauku itu makin dalam dan dalam dari waktu ke waktu.

Di suatu malam, sekitaran jam 9 malam ada orang dari dusun samping bukit dan kebun yang tiba. Istrinya sedang terserang demam dan meracau. Ia cemas dan dengan didampingi tetangganya ia bertandang ke saya meminta bantuan pertolongan. Kebenaran waktu itu ada Pak Tanba yang baru pulang dari mengurusi dagangan hasil bumi dari dusunnya. Tanpa memperlihatkan kecapekan atau kejenuhan Pak Tanba merekomendasikan supaya saya segera berkunjung orang sakit tersebut. Ia siap untuk mengantarkan saya. Setelah bertanya tempat tempat tinggalnya dengan jelas ia berpamitan untuk menyusul pulang. Dengan jalan kaki mereka dapat menggunting jalan sampai kemungkinan ia akan terlebih dulu sampai daripada saya. Mereka akan menanti kami pada pintu dusun.
Setelah saya mempersiapkan beberapa alat yang dibutuhkan kami pergi ke dusun yang diartikan. Saya menyaksikan langit demikian gelap. Kadang-kadang terlihat kilat menyinari pohon-pohonan.

“Wah, ini ingin hujan keliatannya, Pak Tanba “,
“Iya nih, Bu dokter, Semoga nantilah hujannya setelah semua masalah selesai”,

Tetapi saya tidak cemas. Sepanjang Pak Tanba berada di dekatku kelihatannya semua kendala cuma buat dia. Ia akan melawannya untukku. Karena jalan dusun yang tidak mulus jenis di kota, saya harus erat-erat merengkuh pinggang Pak Tanba supaya tidak terlontar dari berboncengan motornya. Memang demikian setiap kami boncengan. Dan jika tubuh yang semestinya tidur ini harus melancong, karena itu mengantukku kusalurkan dengan tempelkan kepalaku ke punggung Pak Tanba. Ia tidak berkeberatan atas tingkahku ini.
“Tidur saja Bu dokter, jalannya masih lumayan jauh”.

Perjalanan itu nyaris memerlukan waktu 1 jam. Kemungkinan cuma 10 menit jika jalanannya jenis jalan aspal di kota. Sampai pada pintu dusun terlihat mereka yang jemputku. Masih sejumlah rumah dan kebon yang perlu kami lalui. Saya memperoleh seorang wanita yang menggigil karena demam tinggi. Setelah kuperiksa ia kuberi beberapa obat yang dibutuhkan. Ke suami dan familinya yang di dalam rumah itu saya berpeluang memberi sedikit pencahayaan kesehatan. Saya anjurkan banyak makan sayur dan buah-buahan yang terdapat banyak di dusun tersebut. Bagaimana membersihkan akan makanan hingga sehat dan bersih. Jangan terlampau asyik dengan ikan asin. Jika berpeluang bikinlah jamban yang betul. Lihat kebersihan rumah dan lain-lain. Kadangkala Pak Tanba turut melengkapi perkataanku. Dari demikian puluh kali ia mengantarkan saya, pada akhirnya ia kuasai pengetahuan terkenal yang kerap kusiarkan pada warga tersebut.

Saat pulang, kilat dari langit semakin kerap dengan kadang-kadang disertai suara guntur. Arlojiku menujukkan jam 10.30 malam. Ah, hujan, nih. Pak Tanba coba percepat pergerakan kendaraannya. Angin malam di perdesaan yang dingin berasa menimpa badanku.
Kurang lebih 1/2 perjalanan kami merasai hujan mulai jatuh. Lampu motor Pak Tanba menyinari beberapa titik hujan yang seperti jarum-jarum berguguran. Saya lebih memperkuat peganganku pada pinggulnya serta lebih menyandar kepalaku ke punggungnya untuk cari kehangatan dan menghindari jatuhan beberapa titik air ke mukaku.

Hujan memang tidak mengenal sepakat. Semakin deras. Saya ingin bicara ke Pak Tanba supaya berlindung dahulu, tapi deras hujan membuat perkataanku tidak kedengar terang olehnya. Ia terus melesat dan saya makin kuat merengkuhi pinggulnya. Mendadak ia stop. Ternyata kami memperoleh dangau beratap daun nipah yang sepi di pinggir jalanan. Saya ingat, dangau tempat berjualan punya orang dusun samping. Jika siang hari tempat ini didatangi orang yang ingin membeli peniti, sabun atau beberapa barang keperluan yang lain memiliki sifat kering. Ada ‘amben’ dari bambu yang tidak luas sekadar cukup buat duduk berlindung. Pak Pertanda segera menyandar motornya selanjutnya lari kebawah atap nipah. Saya mempersilahkannya duduk.
“Sini Pak, cukup ini buat berdua,”
Dan tanpa canggung ia merapat ke saya dan sekalian merengkuhkan tangannya ke bahuku duduk di sampingku.

“Ibu kedinginan?”
“Iyalah, Pak..” sekalian saya merengkuh kembali pinggangnya dengan rasa dekat.

Untuk sesaat kami cuma diam dengarkan deras hujan yang mengguyuri. Perkataan apapun itu tidak akan kedengar. Suara hujan yang seperti diberikan dari langit menaklukkan beberapa suara perkataan kami. Seringkali saya menekan dekapanku ke badan Pak Tanba agar semakin memperoleh kehangatannya. Kepala dan mukaku makin rebah melekat ke dadanya.
Saya tidak tahu bagaimana awalnya. Kudengar dengusan napas Pak Tanba di telingaku dan tiba-tiba kurasakan wajahnya sudah nyungsep ke leherku. Saya diam. Kupikir ia perlu kehangatan. Dan saya rasakan begitu damai pada saat semacam ini ada Pak Tanba. Saya ingin membuat ia merasa suka di dekatku.

Itil V3
Mendadak ia gerakkan kecil mukanya dan leherku rasakan bibirnya mengecupku. Saya diam. Saya sendiri sebenarnya sedang benar-benar capek. Ini beberapa jam istirahatku. Keadaan rasio dan emosiku condong malas. Saya condong cuek dan biarkan apa penginnya. Saya tidak perlu mencemaskan tingkah Pak Tanba yang sudah banyak sekali berkorban bagiku. Dan saya sendiri yang makin kedinginan karena bajuku yang basah ditambahkan oleh angin ribut malamnya yang dingin rasakan bibir itu mengangkat kehangatan dari dalam badanku. Bahkan juga selanjutnya saya masih tetap biarkan saat pada akhirnya kurasakan ciuman itu diperlengkapi sedotan bibirnya. Saya cuma sedikit menghindari.
“Aiihh..” desahku tanpa usaha benar-benar untuk menghindari. Sampai kudengar.

“Bb.. Bu dokteerr..” desis bisik 1/2 samar-samar di tengah-tengahnya suara hujan yang makin deras menembusi gendang telingaku.
“Buu..” kembali desis tersebut.
Dan saya cuma, “Hhmm..”

Saya tidak tahu perlu bagaimana. Saya secara ikhlas mengasihi Pak Tanba sebagai teman dekat dan orang yang sudah banyak sekali membantu saya. Saya mengasihinya karena ada rasa ‘damai dan terlindung’ saat ia ada di dekatku. Saya mengasihinya karena rasa hormatku pada orang lelaki yang demikian ‘concern’ akan nilai tanggung jawabannya. Saya mengasihi Pak Tanba sebagai bentuk hormatku pada orang manusia yang sanggup memperlihatkan rasa sayang pada setiap orang yang lain.

Apa ada saya mengasihi karena beberapa hal lain dari Pak Tanba yang umurnya mungkinlebih tua dari ayahku? Apa ada saya sedang dilanda oleh rasa sepiku? Apa ada saya rindukan belaian seorang ayah yang tidak pernah kujumapi? Apa ada saya rindukan belaian Rudi tunanganku? Sementara saya masih bingung dan cari jawab, ciuman dan sedotan bibir secara lembut melata perlahan ke atas menyentuhi kupingku yang segera membuat darahku berhembus.
Jantungku tersentak dan berdenyut kuat. Badanku tersentak juga oleh renyut jantungku. Rasa dingin yang karena angin malam dan baju basah di badanku langsung pupus. Kegamanganku membimbing tanganku untuk berusaha cari pegangan. Dan di saat yang bersama tangan kiri Pak Tanba dekap tangan-tanganku selanjutnya tangan kanannya merengkuh untuk selanjutnya menelusup ke bawah pakaian basahku. Ia meraba-raba selanjutnya mencekramkan secara halus jari-jarinya pada buah dadaku.

Baca Juga:  Cerita Ewean Sedarah Ternyata Ibuku Sangat Binal

Selanjutnya meremasinya perlahan. Darahku naik dalam hembusan tidak ketahan. Jari-jari tangannya yang kasar itu sentuh dan mengelitik puting susuku. Saya tidak menyangka pada sesuatu yang Pak Tanba kerjakan ini. Tapi saya tidak akan menampik. Saya rasakan seperti nikmat. Saya menggeliat karena remasan tangan Pak Tanba pada susuku. Saya segera ditangkap rasa dahaga yang sangat benar-benar.
Dengan sedikit menggelinjang saya mendesah lembut sekalian sedikit menarik leher dan mengadahkan mukaku. Sebuah tangkapan hangat dan manis jemput bibirku. Bibir Pak Tanba langsung melumat bibirku. Oocchh.. Apa yang terjadi.. Apa yang menerpaku dalam sekejab ini.. Apa yang melempar saya dalam awang tanpa batasan ini.. Di mana orbitku sekarang..

Seperti burung yang terlilit pukat, saya rasakan ada arus yang mengucur kuat dan menggeretku. Tetapi saya tidak berusaha cari selamat. Saya malah kehausan dan ingin lebih lumat terlarut dalam arus tersebut. Tanganku mengarah ke atas. Kuraih kepala Pak Tanba dan menarik menekan ke bibirku. Saya ingin ia betul-betul melumatku habis.

Saya ingin dahagaku tergerus dengan lumantannya. Saya mengisap bibirnya. Kami sama-sama melumat. Lidah Pak Tanba meruyak ke mulutku dan saya menyedotinya. Saya segera kegerahan dalam hujan deras dan dinginnya malam perdesaan tersebut. Badanku berasa keluarkan keringat. Mungkin bajuku jadi kering karena panas badanku sekarang.

“Mmmhh..” desahnya.
“Mllmmhh..” desahku.

Saya tidak tahu kembali apa yang selanjutnya terjadi. Saya cuma merasa Pak Tanba merebahkan badanku ke ‘amben’ bambu itu sekalian mulutnya terus melumati bibirku. Dan tanganku tidak terlepas dari pegangan di kepalanya untukku dapat semakin menekankannya ke bibirku. Desah dan rintih yang terkena bunyi deras hujan jadi mantera dan sichir yang secara cepat membawa kami ketepian samudra birahi. Keinginan menggebu-gebu mengelitik saraf-saraf libidoku.

Selanjutnya kehangatan bibir itu melepaskan dari bibirku untuk melata. Pak Tanba sebentar melumat dan menggigit kecil bibir bawahku untuk selanjutnya turun melumati daguku. Aamppuunn.. Mengapa nafsu ini begitu kobarkan syahwatku.. Ayoo.. Terus Paakk.. Saya hauss.. Pak Tanbaa..
Leherku mengelinjang demikian bibir Pak Tanba seranginya. Ciuman untuk ciuman ia bebaskan dan saya tidak sanggup meredam pergolakan gairahku. Saya beranikan menjerit di tengah-tengah hujan keras di atas dangau sepi dekat pinggiran dusun ini.
“Ayyoo.. Paakk.. Saya hauss Pak Tanbaa.. “.

Saya menggeliat kuat. Saya meronta ingin Pak Tanba menyobek-robek gairah birahiku. Saya ingin ia cepat menyongsong dahagaku.
Mendadak tangan Pak Tanba mengambil keras pakaian dokterku. Ia renggut juga blusku. Semua kancing-kancing bajuku putus lepas. Pak Tanba memperlihatkan kebuasan syahwat hewaniahnya. Duh.. Saya menjadi demikian kebakar oleh keinginan nikmat birahiku. Saya rasakan seseorang yang benar-benar jantan sedang berusaha mengambil kehalusan keperempuananku. Dan saya harus secepatnya berserah pada kejantanannya tersebut.

Ia ‘cokot’i buah dadaku. Ia emoti susu-susuku. Di gigit-gigit pentil-pentilku. Sekalian tangannya mengelusi pinggulku, bokongku, pahaku. Kecupan-ciumannya terus menangkapi badanku. Dari dada turun ke perut dan turun kembali.. Turun kembali.. Saya betul-betul terlontar ke awang lepas. Saya masuk kepuasan dalam samudra penuh kesan. Semuanya yang Pak Tanba kerjakan pada badanku tidak pernah saya rasa sebelumnya. Saya benar-benar tidak pertimbangkan ada Rudi tunanganku tersebut.

Dan yang terlebih menyiksaku sekarang ialah rasa gatal yang di sekitar kemaluanku. Tanpa sanggup kuhindarkan tanganku sendiri berusaha menggaruki elus rasa gatal tersebut. Dengan cepat tanpa rasa malu saya lepasi celana dalamku sendiri. Kulemparkan ke tanah. Saya menekan-nekan sisi atas vaginaku untuk kurangi kegatalan tersebut. Saya semakin rasakan cairan birahiku menetes luber keluar vaginaku.

Kesan dari Pak Tanba terus mengucur. Sekarang bibirnya sudah merasuk lebih kebawah. Ia mengecupi dan menjilat-jilat selangkanganku. Dan itu membuat saya jadi benar-benar histeris. Kujambaki rambut Pak Tanba dalam usaha meredam kegatalan syahwatku. Pak Tanba ternyata tahu. Bibirnya langsung memasuki kemaluanku. Bibirnya langsung melumat bibir vaginaku. Lidahnya menjilat-jilati cairan birahiku. Kudengar.. Ssluurrpp.. Sslluurrpp.. Saat menyedoti cairan tersebut. Bunyi itu kedengar benar-benar menggairahkan gairahku.

Saya tidak kuat kembali. Saya seperti hewan korban persembahan Pak Tanba yang siap terima tusukan tajam dari tombaknya. Kobaran birahiku menuntut supaya persembahan cepat dilakukan. Saya ambil pundak Pak Tanba supaya bangun dan cepat menusukkan tombaknya padaku. Ayoolaahh.. Paakk..
Saya tidak mengetahui kapan Pak Tanba melepas bajunya. Bahkan juga saya tidak seutuhnya mengetahui mengapa sekarang saya sudah telanjang bundar. Pak Tanba segera memberi respon kobaran gairahku. Ia sudah jauh kisah hidupnya. Apa yang saya kerjakan mungkin seringkali ia peroleh dari istri-istrinya. Dengan cepat ia naik dan menindihku pada kondisi sudah telanjang. Ia lelepkan mukanya ke lembah ketiakku. Ia menjilat-jilati dan menyedotinya.

Sementara itu saya rasakan ada tangkai keras dan panas menekan pahaku. Tidak membutuhkan pengalaman untuk ketahui jika itu ialah kemaluan Pak Tanba yang sudah siap untuk menusuk dan menembusi kemaluanku. Tapi ia berhenti. Beberapa detik penantianku seolah-olah sekian tahun. Ia berbisik dalam parau.

“Bu Dokter, ibu masih perawan?”
Saya sedikit tersentak atas bisikkannya tersebut. Yaa.. Saya masih perawan. Akankah saya berikan ini ke Pak Tanba? Bagaimana dengan Rudi kelak? Bagaimana dengan saat depanku? Bagaimana dengan dampak negatif moralku? Bagaimana dengan karierku? Dalam sekejab saya harus ambil sikap. Dengan kilat saya coba berkilas kembali.

Dalam posisi ini rupanya saya sanggup berpikir tenang, walaupun sebentar. Selanjutnya saya kembali lagi ke arus syahwat birahi yang menggeretku. Saya tidak menjawab dalam kata ke Pak Tanba. Saya segera jemput bibirnya untuk melumatinya sekalian sedikit renggangkan pahaku. Saya ikhlas memberikan keperawananku ke Pak Tanba.

Ditengah-tengah deras hujan dan dinginnya perdesaan, di atas ‘amben’ bambu dan dilihat dangau beratap daun nipah di pinggir jalan tidak jauh dari pintu desaku Pak Tanba sudah ambil keperawananku. Saya tidak menyesalinya. Hal tersebut benar-benar karena mungkin rasa relaku yang muncul sesudah menyaksikan bagaimana Pak Tanba tanpa memperlihatkan pamrihnya menolong beberapa tugasku. Dan mungkin saja atas sikapnya yang begitu penuh perhatian padaku.

Rasa ‘adem’ dan ‘terlindungi’ dari figur dan sikap Pak Tanba begitu menghanyutkan kesadaran emosi atau rasioku sampai saya tidak harus merasa kehilangan saat keperawananku di raihnya.
Sebentar sesudah kejadian itu terjadi Pak Tanba nge-‘gelesot’ di rumput-rumputan dangau itu sekalian menangis di muka kakiku. Ini spesial buatku karena kupikir orang seperti Pak Tanba tidak dapat menangis.
“Maafkan kekeliruan saya, Bu Dokter. Saya meminta ampuunn..”

Tapi saya cepat mencapainya untuk kembali duduk di ‘amben’. Bahkan juga saya merengkuhinya. Bahkan juga sekalian selanjutnya jemput bibirnya dan melumatinya lagi saya ucapkan jika saya benar-benar ikhlas pada sesuatu yang Pak Tanba sudah kerjakan kepadaku. Malam itu saat sebelum bergerak pulang kami satu kali lagi jemput nikmat syahwat birahi. Tanpa kata-kata Pak Tanba membimbingku bagaimana agar saya dapat raih orgasmeku.
cc
Ia tuntun saya untuk menindih badannya yang kekar tersebut. Ia bimbing kemaluannya untuk ditujukan ke kemaluanku. Selanjutnya ia dorong ambil sebentar saat sebelum saya sukses melakukan sendiri. Begitu kesan syahwat langsung menangkapku. Saya mengayun bokong dan pinggulku seperti wanita yang membersihkan di atas penggilesan. Cuma ini kali yang berayun bukan tanganku tapi bokong dan pinggulku. Saya sukses raih orgasmeku dengan berurut mengikuti saat orgasme dan ejakulasinya Pak Tanba yang kurasakan pada kedutan-kedutan kemaluannya yang dibarengi panasnya semburan sperma kentalnya dalam lubang sanggahmaku.

Aneh, saat kami siap-siap pulang langit tiba-tiba menjadi sangat jelas. Bahkan juga bulan yang nyaris purnama membagi sinarnya berkenaan pematang sawah di pinggiran jalan tersebut. Saat sebelum Pak Tanba menarik motornya ia satu kali lagi raih pinggangku dan memagut lagi bibirku selanjutnya.
“Bu Dokter maukah kamu jadi istriku?,”
Saya tidak menjawab dalam kata juga. Saya cuma mencubit lengannya yang dibalas Pak Tanba dengan ‘aduh’.

Dalam keremangan sinar bulan kami masuk dusun tantanganku. Saya merenungi begitu dusun ini sudah memberikan banyak makna dalam hidupku. Dan pada awal pagi yang dingin itu kutetapkan hatiku. Saya akan berbakti pada dusun tantanganku ini. Saya akan menjadi dokter dusun dan tinggal dengan suamiku sebagai istri ke.4 Pak Tanba yang baik sekali tersebut.

Saat pamanku tiba jemput dan kebenaran tanpa dibarengi Rudi karena sedang bekerja di luar kotanya semua kuceritakan padanya. Lusuhpaikan jika dengan segenap kesadaranku saya sudah temukan jalan dan opsiku. Saya akan berbakti di dusun tantanganku. Dan saya minta bantuan agar dikatakan ke Rudi permintaan maafku yang sudah menyebalkannya. Dan sudah pasti ke ibuku selain restunya yang selalu saya butuhkan.