Cerita Sex Dewasa Ngentot Dengan Tante Ning
Cersex Dewasa – 2018 Saat sebelum saya menikah, pengalaman seksualku lumayan banyak, beberapa tentu beresiko tinggi semacam itu. Diantaranya: dengan dosen, dengan rekan adikku, dengan kekasih rekan, dengan adik kekasih, dan ada banyak yang lain. Semua itu mungkin terpengaruhi oleh pengalaman pertama kaliku, perjakaku direnggut oleh wanita yang tetap terhitung tanteku sendiri, ponakan jauh ibuku.
Itu terjadi saat saya berusia 17 tahun, kelas 2 SMU. Telah lama sekali, tetapi kesannya yang mendalam membuat saya tidak pernah bisa lupa. Saya bahkan juga dapat mengingatnya dengan detail, dan masa lalu itu selalu membuat saya terangsang.
Narasi seks, narasi seks 2018, narasi seks terkini 2018, narasi seks igo, narasi seks serong, narasi seks sedarah, narasi seks setubuhian, narasi seks perawan, narasi seks 2018 terupdate, narasi dewasa igo, narasi ngentot terkomplet.
Saya panggilnya Tante Ning. Orangnya baik, supel dan sedap dibawa bercakap. Mukanya sich relatif, tetapi menurutku cukup manis. Yang terang, kulitnya putih mulus dan bodinya oke. Saat itu umurnya sekitaran 25 sampai 30 tahun, punyai satu anak lelaki yang tetap kecil.
Keluarga Tante Ning ada di Surabaya. Ia sendiri ada di Jakarta sepanjang setahun untuk meng ikuti sesuatu pendidikan. Saat di Jakarta, ia ada di rumah kami. Kebenaran rumah kami lumayan besar, dan ada satu indekosong yang disiapkan untuk tamu.
Sebetulnya Tante Ning itu bukan tipe wanita yang nakal. Setahuku ia termasuk wanita baik, dan rumah tangganya juga terlihat rukun-rukun saja. Tetapi yang terang ia kesepian sepanjang ada di Jakarta. Ia perlu seks. Kebenaran di sini bisa disebut hanya saya cowok yang dekat sama dia . Maka, kupikir lumrah jika pada akhirnya affair itu terjadi. Apalagi, kupikir Tante Ning memang termasuk wanita yang lebih besar gairah seks -nya.
Semenjak kejadian yang pertama, kami seperti suka. Kami ML kapan pun, tiap ada peluang. Di dalam kamar, di dapur, di dalam kamar mandi, di hotel, dimanapun. Untuk salurkan gairahku yang seolah tidak pernah kering pada Tante Ning, saya bahkan juga menjadi kerap absen atau lari dari sekolah, dan tanteku yang manis dan seksi itu selalu siap meladeniku.
Mengakibatkan, tahun itu saya tidak naik kelas. Semuanya orang terkejut, cuma Tante Ning yang mahfum. Ia katakan, meskipun saya tidak naik kelas, tetapi saya “lulus” sebagai lelaki. Harus kuakui, Tante Ning ialah guruku yang terbaik dalam soal yang satu tersebut.
Untungnya affair itu tidak bersambung sampai kedapatan orang. Demikian Tante Ning kembali lagi ke Surabaya, bisa disebut jalinan kami usai, meskipun di awal mula kadang-kadang kami tetap melakukan (jika Tante Ning tiba ke Jakarta).
Saya lupa, Tante Ning meng ikuti pendidikan apa di Jakarta. Ia pelatihan sore hari dan pulangnya telah cukup malam, sekitaran jam 8. Karena itu, saya mendapatkan pekerjaan jemput naik motor. Awalannya sebel menjadi “tukang ojek” demikian. Untung hanya 2x satu minggu. Tetapi, semakin lama saya justru suka.
Kami cepat sekali jadi dekat. Tante Ning tidak canggung-canggung kembali merengkuh pinggangku jika kami boncengan naik motor. Kadang-kadang saya dapat rasakan benjolan buah dadanya yang menekan empuk punggungku. Itu karena itu saya menjadi suka. Saat itu terang-terangan saya belum mempunyai kekasih, menjadi bersinggungan sama perempuan ialah pengalaman yang menggembirakan buatku.
Hari itu saya berulang-ulang tahun yang ke 17. Pagi-pagi saat sebelum pergi sekolah, orangtua dan adikku memberikan selamat. Hanya Tante Ning yang tidak. Saya menjadi sebel. Apa saya benar-benar hanya dipandang seperti “tukang ojek” sejauh ini? Tetapi rupanya ia pilih langkah lain. Saat saya sedang membenahi tas sekolahku dalam kamar, Tante Ning masuk. Kupikir ia ingin mengucapkan selamat, tetapi rupanya tidak . Ia katakan, semestinya sweet seventeen dirayakan dengan khusus. “Tidak ada uang,” jawabku sembarangan. Tante Ning menyeka pipiku.
“Kelak sore kita rayain berdua,” ucapnya, suaranya perlahan sekali. “Tante ingin kasih hadiah khusus untuk kamu.”
Saya menjadi deg-degan. Di sekolah, pikiranku melantur tidak karuan, ulanganku menjadi anjlok sekali. Saya ingin tahu, apa benar Tante Ning ingin memberikan hadiah khusus. Entahlah mengapa, saya mulai memikirkan yang bukan-bukan.
Karena tidak sabar, saat jam istirahat saya ke telephone umum di seberang jalan. (Saat itu tidak ada HP). Di dalam rumah hanya ada Tante Ning dan sang Mbok. Saya hampir-hampir tidak dapat bicara waktu denger suara Tante Ning yang merdu. Dengan polos, pada akhirnya saya terang-terangan jika saya ingin tahu. Kata Tante Ning,
“Sejauh ini kamu sangat baik sama Tante . Maka, kamu bisa meminta apa pun itu yang kamu ingin.” “Jika Tante sendiri ingin kasih apa?” tanyaku. “Ya kelak donk!” “Tidak sabaran nih!” “Pulang saja saat ini jika tidak sabar. Dapat kabur, kan?” “Tetapi kelak saya ada ulangan!” “Ya sudah, terserah kamu!”
Saya menjadi tambah ingin tahu. Percakapan di telephone membuat pikiranku semakin bertambah kotor. Entahlah bagaimana, feeling-ku menjelaskan jika Tante Ning “tertarik” saya. Karena itu, dengan tidak berpikir panjang kembali, saya segera pulang waktu itu . Kukebut motorku.
Tante Ning tersenyum saat membuka pintu. “Sang Mbok baruuuuu saja ke pasar!” ucapnya tanpa kutanya, seperti memberikan kode jika keadaan rumah betul-betul aman buat kami. Saya menjadi tambah deg-degan. Pikiran jorokku semakin bertambah. Terlebih waktu itu Tante Ning kenakan daster yang potongannya agak seksi.
“Kadonya mana?” tanyaku tidak sabar. “Tunggu dulu donk!” jawab Tante Ning. Lantas saya diminta menanti di ruangan duduk keluarga, sedangkan ia masuk ke dalam kamar. Saya duduk di atas sofa sekalian buka sepatu. Sesaat, Tante Ning keluar kamar, tetapi saya tidak menyaksikan ia bawa hadiah. Sekalian melihati ia jalan ke arahku, saya berpikiran, “Ngapain ia barusan masuk kamar?” Saya temukan jawabnya sesaat selanjutnya, saat terlihat olehku ke-2 puting susunya membayang dibalik daster. Ternyata di dalam kamar barusan ia hanya buka BH. Lantas, mana kadonya?
“Merem donk!” kata Tante Ning sekalian duduk di sebelahku. Saya menurut, kupejamkan mataku. Jantungku makin bergelora. Kurasakan kelelakianku mulai bangun, anuku mulai mengeras. Terlebih saat kurasakan napas Tante Ning dekat dengan mukaku. Saya ingin buka mata, tapi takut. Karena itu saya terus pejamkan mata rapat-rapat, sampai kurasakan Tante Ning mengecup pipiku. Halus sekali. Kanan dan kiri.
“Itu kadonya?” tanyaku membulatkan tekad sesaat selanjutnya. Tante Ning tersenyum. “Itu hadiah khusus dari Tante,” ucapnya halus. “Tetapi jika kamu ingin lainnya, kamu bisa meminta. Apapun itu yang kamu mau….” “Aa…aa…aku… tidak berani…” jawabku terbata-bata. “Walau sebenarnya kamu ingin suatu hal?” ia mendesak sekalian rapatkan bodinya. Saya makin deg-degan. Benjolan toketnya yang montok menekan halus lenganku. Saya tidak berani membalasnya sorot matanya. “Katakan dong…” suara Tante Ning makin halus. Mukanya makin dekat, saya menjadi makin tidak berani mengusung muka. Sampai mendadak kusaksikan tangannya merayap… meraba-raba selangkanganku!
Saya kaget, bersatu malu karena kedapatan waktu itu saya telah “ngaceng”. Saya tidak paham bagaimana gestur Tante Ning saat itu, karena saya masih tetap tidak berani menyaksikan mukanya, tapi yang terang ia justru memijit-mijit benjolan tangkai kemaluanku yang sudah pasti menjadi makin keras.
“Tante… aku…” Saya makin tidak sedap hati, sedangkan gairahku makin tinggi. “Vaaan, kamu sudah besar sekarang….,” bisik Tante Ning. “Sudah 17 tahun, sudah dewasa…” “Tujuan Tante, saya boleh….” “Kamu bisa apapun itu yang kamu ingin, Sayang!”
Berbicara demikian, Tante Ning menangkap mulutku dengan bibirnya. Saya sesaat kaget dengan serangan garang mulut Tante Ning yang semakin binal melumat-lumat mulutku, mendesak-desaknya ke dengan buas. Sementara jari ke-2 tangannya menggerayangi semua sisi kulit badanku, khususnya di bagian punggung, dada, dan selangkanganku. Tidak karuan kembali, saya menjadi terangsang. Sekarang saya berani membalasnya kecupan buas Tante Ning. Kelihatannya Tante Ning tidak ingin mengalah, ia bahkan juga tambah liar kembali. Sekarang mulut Tante Ning merayap turun ke bawah, telusuri leher dan dadaku. Baju seragamku entahlah kapan dibukanya, tiba-tiba telah teronggok di lantai. Sejumlah cupangan yang tinggalkan warna merah menghias leher dan dadaku. Lantas dengan liar Tante Ning membawaku turun ke karpet, dibukanya celana panjang abu-abuku, demikian juga celana dalamku ditanggalkannya pergerakan terburu-buru. Saya jadi telanjang bundar.
“Oohhh…. Ivaaan…., Tante tidak sangka, punyamu bagus juga….” hebat bernafsu Tante Ning sekalian masukkan tangkai kejantananku ke mulutnya, dan mulai ia mengulum-ngulum, kadang-kadang diimbangi menyedot-nyedot. Sementara tangan kanannya mengocak-ngocok tangkai kejantananku, sedang jari tangan kirinya meremas-remas buah kemaluanku. Saya cuma mengerang-erang rasakan kesan yang nikmat tidak ada taranya.
Pada satu peluang, saya sukses melepas daster Tante Ning, hingga ia tinggal kenakan celana dalam saja. Saya benar-benar kaget saat menyaksikan ukuran buah dadanya. Hebat besarnya. Bundar, montok, masih kuat meskipun ia telah beranak satu. Gairahku menjadi makin tidak teratasi. Tanpa malu, saya merintih-rintih sambil menjelaskan jika saya merasa sedap hebat. Hingga kemudian kusaksikan Tante Ning turunkan celana dalamnya sendiri. Ia bugil di hadapanku! Saya sebelumnya sempat berpikiran sehat, kami jangan lakukan semuanya! Tetapi saat itu Tante Ning telah menempati ke-2 pahaku yang mengangkang. Kemaluannya yang dengan bulu rimbun pas melekat di tangkai kemaluanku. Saya menelentang pasrah.
“A..a..aku… tttakut, Tante…,” kataku saat kurasakan Tante Ning mulai menyelusup-nyusupkan tangkai penisku ke lubang vaginanya yang basah. Tante Ning tidak perduli, kurasakan ujung tangkai penisku telah masuk. Tetapi bagaimana juga Tante Ning menemui kesusahan karena saya masih 1/2 hati.
Tante Ning menciumi mukaku. Bibirku dilumatnya lagi, lantas lidahnya menjulur-julur menjilat-jilat. Dalam pada itu, tangan kanannya terus berusaha menjejal-jejalkan tangkai penisku ke lubang surgawi kepunyaannya.
“Ivan, please..,” desahnya di telingaku. “Kamu sudah besar, kamu sudah bisa, Van…”
Entahlah bagaimana, gairahku berkobar lagi. Tangkai kemaluanku yang semula mulai cukup kendor karena saya ketakutan, sekarang menegang lagi keras. Tante Ning kegirangan, mukaku diciuminya gaungs. Pinggulnya bergerak sementara tangan kirinya terus membimbing tangkai kemaluanku masuk vaginanya. Uhhh, nikmat hebat. Saya menggigit bibir. Sleeeppp… berasa tangkai kemaluanku melesak makin dalam. Inch untuk inch, hingga kemudian masuk semua. Tante Ning mendesah perlahan menyebutkan namaku, “Ivvvaaaannnn…..”
Tanteku yang manis itu mulai menggoyang-goyangkan pinggulnya. Maju, undur, kiri, kanan, berputar. Enaknya benar-benar tidak terucapkan. Tangkai penisku terasanya dihisap dan dipelintir-pelintir. Saya tidak pernah rasakan surga dunia senikmat itu, karena itu saya tidak kuat. Baru sejumlah goyangan, tidak bisa kucegah sedetikpun, saya “muncrat”. Air maniku menyemburkan-nyembur entar berapakah kali, menyiram vagina Tante Ning yang kurasakan berkedut-kedut. Tersebut untuk pertamanya kali saya capai orgasme yang sebenarnya, sesudah demikian lama saya cuma dapat merasainya dengan “ngocok” di dalam kamar mandi.
Saya tidak paham bagaimana hati Tante Ning saat itu. Saya belum memahami jika saat itu ia benar-benar sedih karena birahinya tidak capai pucuk. Yang terang, kami sama termenung untuk sesaat. Hatiku tidak karuan. Menyesal, takut, malu, campur baur menjadi satu.
Mendadak Tante Ning menangis tersedu-sedu. Saya menjadi makin tidak sedap hati. Dengan berlagak gentle, saya merengkuh badannya yang telanjang dari belakang. Saya mohon maaf dan berusaha merayu. Tetapi kata Tante Ning, ia malah malu sudah menjerumuskan saya.
“Tetapi saya tidak nyesel kok, Tante…,” kataku. Tante Ning mengalihkan wajahnya melihatku. “Benar?” tanyanya. Saya menggangguk. Entahlah mengapa, tiba-tiba “anu”ku berdiri kembali. Kusaksikan muka Tante Ning memeras, ia tentu bisa rasakan karena tangkai penisku yang menegang itu melekat rapat pada bokongnya. Ia lantas mengubah badannya dan kami berangkulan. Entahlah siapakah yang mengawali, kami lantas berciuman bibir. Gairahku berapi-api kembali.
Tante Ning ajakku masuk ke dalam kamar. Dengan badan bugil, kami berpelukan ke arah kamar Tante Ning ada di belakang. Datang di situ, Tante Ning rebah lebih dulu di atas tempat tidur. Saya susul. Dua-tiga kali Tante Ning tetap menanyakan kembali, apa benar saya tidak menyesal dan tidak menganggap sebagai wanita murahan. Lantas kami berciuman bibir, lama dan penuh gairah. Kurasakan tangkai kemaluanku telah hebat keras, saya siap untuk menyetubuhi tanteku satu kali lagi. Tetapi kata Tante Ning, ini kali saya haruslah sabar. Saya harus dapat membuat Tante Ning capai pucuk kepuasan sama seperti yang barusan kualami. Karena itu, ia mengajarkanku semua jenis tehnik menggairahkan birahi wanita.
Diawali dari berciuman. Ia mengajarkanku beberapa cara mainkan mulut dan lidah. Sesudah ku ikuti, rupanya memanglah lebih sedap. Lantas ia menyuruhku menciumi lehernya. Saya sukses membuat suatu cupangan, tetapi Tante Ning lekas-lekas mengingati jika cupangan di leher akan gampang kedapatan orang. Karena itu, ia meminta saya mencupang toketnya. Tanpa disuruh juga, saya akan suka hati lakukan tersebut. Toketnya itu hebat bagus. Putih, besar, bundar, kuat dan padat. Saya mencium dan meremas-remas seperti tanpa rasa senang. Dan saya menjadi tambah bergairah karena perlakuanku itu membuat Tante Ning menggelepar-gelepar kenikmatan. Ia bahkan juga menjadi seperti tidak dapat mengontrol dirinya. Mulutnya mulai keluarkan kata-kata kotor, di tengah desahan dan rintihannya.
Saya sebetulnya sangat tidak sabar, ingin selekasnya masukkan senjataku kembali ke lubang surgawi Tante Ning. Tetapi Tante Ning belum memberikan kode karena itu. Ia justru mintaku mencumbui selangkangannya dahulu.
“Sini, Sayang…, ciumin ini Tante …,” pintanya sekalian tiduran terlentang dan buka ke-2 iris pahanya lebar-lebar.
Tanpa menghabiskan waktu kembali, saya terus menyerudukkan mulutku pada sela vagina Tante Ning yang mengembang meminta ditangkap. Betul-benat sedap. Vagina Tante Ning mulai kulumat-lumat tanpa karuan kembali, dan lidahku menjilat-jilat deras semua sisi lubang vaginanya yang sudah banjir lendir. Berkali-kali kugelitik kelentitnya dengan ujung lidah sekalian kukenyot dalam-dalam. Rambut kemaluan Tante Ning lebat dan teduh. Cupangan merah juga kucap pada semua sisi daging vagina Tante Ning yang menarik ini. Tante Ning cuma menggerinjal-gerinjal kegelian dan benar-benar suka sekali kelihatannya. Kulirik barusan, Tante Ning terus-terusan lakukan remasan pada buah dadanya sendiri sekalian kadang-kadang melintir puting-putingnya. Berkali-kali mulutnya mendesah-desah dan menjerit kecil saat mulutku menciumi mulut vaginanya dan menarik-narik daging kelentitnya.
“Ooohhhhh, Ivvvaaannn…, sedap sekali, Sayaaang… Teruuss…., teruuuuussssss….. Please…, yaaaahhhhhh ”
Beberapa saat selanjutnya, saya merayap halus ke arah perut Tante Ning, dan terus mendekat di semua sisi buah dadanya. Dengan garang saya menyedot-nyedot puting payudaranya yang sekarang mengeras dan membesar. Kembali kubuat sejumlah cupangan di buah dadanya. Berkali-kali jariku memilin-milin gaungs puting-puting susu Tante Ning dengan berganti-gantian, kanan dan kiri. Saya sekarang betul-betul tidak kuat kembali untuk meniduri Tanteku. Tanpa menanti instruksi dari Tante Ning, saya menuntun masuk tangkai kemaluanku pada lubang vaginanya.
Tetapi Tante Ning sempat mengganti posisi. Sama seperti yang pertama, ia lagi ada di atas. Rupanya itu memang tersengaja oleh Tante Ning karena posisi demikian lebih memberikan keuntungan saya. Saya menjadi lebih tahan, kebalikannya Tante Ning akan cepat capai orgasme.
Itil V3
Betul saja. Tante Ning langsung memacu cepat karena ternyata ia sangat kenikmatan dan nyaris capai pucuk. Saya menelentang saja sambil meremas-remas toket montoknya yang bergelantung terkontal-kantil. Kadang-kadang saya mengusung bokong meng ikuti instruksi Tante Ning. Tidak berlama-lama, Tante Ning ajakku selekasnya membalik posisi. Baca : Cerita Seks Riil Ngentot Sama Calon Ibu Mertua
“Ooouhkk.. yeaaah… ayoo.. ayooo… pacu Vaaannn..!” teriak Tante Ning saat rasakan tangkai kejantananku mulai menusuk-nikam liar vaginanya. Dalam posisi di atas, pergerakanku lebih bebas. Saya makin tingkatkan irama masuk keluar tangkai kemaluanku. Tante Ning cuma berpegangan pada ke-2 tanganku yang tetap meremas-remas sepasang buah dadanya. Ke-2 kakinya mengangkang lebar, pinggulnya terangkut-angkat selaras dengan hunjaman tangkai kemaluanku.
“Blesep… sleeep… blesep..!” suara senggama yang cantik menemani dengan alunan halus. Tante Ning mendesah, mengeluh, dan merintih-rintih.
“Aaaarghh…, sedap sekali, Ivaaannnn….., Tante sukai kontol kamuhhh… Terus, Sayaaang…, teruuuussssss….., ssssshhhhhh….., aaaaarrggghhhhh….”
Saya makin semangat, kusodok-sodokkan tangkai penisku makin kuat dan cepat. Tersebut nikmat bersetubuh yang pertama kalinya kurasakan. Saya masih tidak dapat tahan lama karena sangat nikmatnya. Cuma beberapa saat, pucuk klimaks itu kucapai dengan prima, “Creeet… crooot… creeet..!”
Di saat nyaris bersama, badan Tante Ning melafalkanng, pinggulnya terangkut tinggi-tinggi.
“Oooorrrrgghh.. sssssshhhhh… aaarrrgghhhh..,” hebat Tante Ning menggelepar-gelepar saat meraih pucuk kepuasannya. “Tanteeehhh.…….” “Oooohhhh, Ivaann…. Tanda tangan terus, Vaan, Tante masih enak…, tanda tangan terus, yaahhh…” “Ivan seperti mimpi, Tante….,” bisikku polos. “Hm-mm, Tante , mimpi di surga… Dekap Tante, Sayang…”
Seterusnya, dengan tangkai kemaluan yang tetap menancap kuat pada vagina Tante Ning, saya jatuh tertidur. Tante Ning . Kami baru terjaga saat sang Mbok pulang dari pasar.